Wednesday, September 01, 2010

The Jakarta Beat review

Manimal: Nafas Baru Sajama Cut

 Oleh Idhar Resmadi, Editor Common Room Networks Foundation

Album Manimal bukanlah album fabel musik. Ia juga tidak serupa dengan album yang mengingatkan kita akan suara-suara ambience kicau burung yang dilafalkan Rogers Waters dalam lagu "Several Species of Small Furry Animals Gathered Together in a Cave and Grooving with a Pict" di album Ummagumma milik Pink Floyd. Bukan juga sebuah repertoire Pink Floyd dalam album Animals yang membawa inspirasi novel fabel politik Animal Farm-nya George Orwell.

Manimal, album ketiga dari band indie-rock asal Jakarta Sajama Cut ini, mengingatkan kita akan sebuah area penjelajahan musik indie-rock yang elitis dan berkelas, dengan lirik-lirik berbahasa Inggris yang fasih. Nama Manimal sendiri diambil dari serial TV tahun 1980-an mengenai seorang pahlawan yang dapat mentransformasikan dirinya menjadi berbagai macam hewan untuk menghadapi musuh-musuhnya. Serial TV ini menjadi tontonan para personil Sajama Cut ketika mereka sedang dalam proses rekaman Manimal. Proses rekaman album ini menghabiskan waktu satu tahun di studio pribadi mereka, Movement.
Setelah hampir sekitar lima tahun vakum dari merilis album, akhirnya Sajama Cut merilis album baru di penghujung tahun 2010 ini.  Walaupun pada tahun 2008 lalu Sajama Cut sempat membuat sebuah album interpretasi mereka terhadap globalisasi, yaitu album L’Internationale yang berisi remix album Osaka Journals oleh para musisi elektronik di seantero dunia.
Nama Sajama Cut tentu tak bisa dilepaskan dari sosok gitaris dan vokalis Marcel Thee. Boleh dibilang dialah otak, arsitek, dan pendiri Sajama Cut. Untuk album Manimal ini saja, Marcel merombak semua personil Sajama Cut era dari era album sebelumnya-Osaka Journals. Begitu juga di tahun 2005, Marcel telah merombak semua personil di era album mereka Apologia nan gelap. Sehingga, di tiap album hanya sosok Marcel saja yang bertahan. Marcel pula yang merupakan penulis notasi musik dan departemen lirik dalam semua lagu-lagu Sajama Cut.
Untuk proses kontrol kreatif seperti itu, sosok Marcel mengingatkan saya akan sosok-sosok musisi egosentris yang diberkahi kecerdasan bermusik seperti Trent Reznor (Nine Inch Nails), Justin Broadrick (Godflesh/ Jesu/ Techno Animal), ataupun Kris Roe (The Ataris). Justin Broadrick di setiap proyek musiknya bisa dengan seenak udel mengonta-ganti personil. Juga Kris Roe yang di tiap album the Ataris selalu ditemani personil yang berbeda-beda, mulai dari punk penuh amarah di album Anywhere But Here, album emosionil So Long, Astoria, hingga album indie-rock Welcome to the Night yang muram.
Marcel, dalam sebuah wawancara via yahoo messenger dengan saya, menuturkan bahwa musik selalu menjadi leader dalam setiap proses berkreasinya. Ketika personil lain tidak cukup merepresentasikan keinginannya, maka ia akan terus mengeksplorasi sampai titik di mana ia menemukan personil-personil lainnya yang dianggap cocok. “Personil era Osaka lebih cocok untuk agresifitas. tapi kurang cocok dengan Manimal yang sedikit lebih terkonsep,” ujarnya.
Maka tak berlebihan untuk mengatakan bahwa Sajama Cut adalah Marcel Thee.

Tentang Manimal
Musik indie-rock diberkahi begitu banyak referensi berkualitas dari luar sana, yang boleh dikatakan di tahun-tahun terakhir ini begitu masif menyapa. Siapa yang tidak terpukau dengan kegemilangan tiap album the Arcade Fire, suasana muram namun indah dari The National, atau musik-musik jenius dan elegan dari Vampire Weekend? Saya sempat menulis ulasan mengenai konser Vampire Weekend di Jakartabeat.net beberapa minggu lalu dan menggambarkan betapa musik indie-rock kini tak bisa dilepaskan dari kesan-kesan yang classy dan elitis.
Musik-musik indie-rock seperti ini telah menjadi anak kesayangan budaya pop terbaru. Lihat saja ketika lagu “Fake Empire” dari The National dijadikan lagu kampanye Obama di masa pemilihan tahun 2008 lalu. Atau lagu-lagu milik Death Cab For Cutie yang menjadi kesayangan serial the OC. Juga ketika aktris jelita Natalie Portman berkata dalam sebuah dialog di film Garden State: “The Shins will change your life”. The Shins adalah sebuah band indie-rock asal Albuquerque, Amerika Serikat.
Manimal mengingatkan saya akan kesan musik seperti itu. Di rilis pers album Manimal ini dituliskan: “Ke-8 lagu di album ini pun menunjukan variasi musik tanpa batas yang selalu menjadi ciri khas Sajama Cut. Baik dari Folk, Rock, Sunshine & Baroque pop, Ambient, dan pelbagai pengaruh lainnya.” Sebuah musik yang eklektik dan kaya. Pengaruh-pengaruh yang kaya itu menjadi suatu peringatan besar: musik Manimal ini perlu mendapat perhatian.
Lagu “Paintings/Pantings” yang dibuka dengan ketukan dan melodi bass yang sangat kuat dan lagu “Twice (Rung the Ladder)” mengingatkan saya akan ketukan-ketukan drum ala Guided By Voices. Atau lagu “Hunted Lights”, yang menjadi favorit saya, adalah sebuah metafora indie-rock dengan notasi-notasi ringan yang membuat orang gampang jatuh cinta dengan band yang satu ini.
Toh, sebenarnya Manimal bukan tipikal album yang satu-dua kali didengarkan lantas mudah dicerna. Meski terdengar sangat riang dan penuh notasi-notasi pop ringan, menebak arah atmosfer musikalitas Sajama Cut sesungguhnya merupakan sesuatu yang perlu pemikiran. Seorang penikmat musik akan mengapresiasi sebuah album  dengan mengontekskan pada suasana hati dan menjadikan musik sebagai media kontemplatifnya.
Kita bisa saja merenung saat mendengarkan alunan Sigur Ros, tanpa perlu mengerti lirik berbahasa Islandia-nya. Atau kita bisa saja berteriak-teriak destruktif mendengarkan Reign In Blood dari Slayer, meski belum tentu lirik tersebut membuat kita ingin membunuh seseorang – ini juga yang menjadi alasan mengapa musik-musik pop ringan yang berseliweran di televisi, diputar di radio, dan ditulis di media-media cetak musik mainstream, tidak pernah cukup untuk bisa menjadi media musik kontemplatif.
Yang paling patut saya acungi jempol adalah kemampuan Marcel dkk untuk mengumpulkan nafas baru dalam satu bahasa musik yang sama. Banyak band memiliki proses kreasi yang  dibangun dan berdiri secara bertahun-tahun sehingga membentuk kekompakan. Sebaliknya, Sajama Cut ini boleh dibilang dibangun oleh personil-personil relatif baru dan menghasilkan visi bermusik yang baru. Sebuah usaha yang relatif sulit, mengingat para personil Sajama Cut sendiri adalah orang-orang kantoran dan bukan full-time musicians. Karena itu, tentu dibutuhkan waktu dan kekompakan serta intuisi yang satu visi untuk bisa membangun rasa dan intensitas kekompakan yang sama
Hasil Manimal tidak main-main. Album ini telah mengisi kekosongan musik indie-rock yang berkarakter di bumi pertiwi ini. Kalau di album Osaka Journals kita masih menemukan nuansa-nuansa REM dengan lafal-lafal Jepang yang kental (lagu “Alibi”, “Fallen Japanese”, It Was Kyoto Where I Died”), maka Manimal adalah eksplorasi yang lebih beragam. Variasi genre yang kaya, tapi sekaligus menawarkan karakter musik yang kuat. Ia bisa bermain di era syhnthesizer tahun 1980-an seperti Brian Eno, atau lafal-lafal dan notasi derau dari indie-rock tahun 1990-an macam Pavement, REM, Sebadoh, atau Guided by Voices.

Lirik-lirik  berbahasa Inggris

Tahun-tahun belakangan kita banyak disuguhkan band berkualitas  dengan lirik-lirik bahasa Indonesia yang bernas. Kita terpukau dengan lirik-lirik cerdas dari “Jangan Bakar Buku”-nya Efek Rumah Kaca, “Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)” dari Seringai, “Ode Buat Kota” milik Bangkutaman, atau eksplorasi-eksplorasi lirik berbahasa Indonesia dari White Shoes and the Couples Company, Sore dan Pure Saturday, yang mengingatkan kita akan potensi bahasa Indonesia yang kaya makna.
Berlainan dengan itu semua, Sajama Cut, bersama the S.I.G.I.T, adalah band yang fasih melafalkan bahasa Inggris dengan baik tanpa  terjebak stereotype menyanyikan bahasa Inggris supaya “keren”. Dua album terahir Sajama Cut didominasi oleh lirik-lirik berbahasa Inggris. Kalau saya tidak salah mencatat, di dua album terakhir, hanya satu lagu saja yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu “Lagu Tema”.
Suatu waktu saya membaca artikel berjudul “As English Spreads, Indonesians Fear for Their Language” yang ditulis Norimitsu Onishi di harian The New York Times yang menyoroti persoalan bahasa di Indonesia. Menurutnya, kondisi bahasa Indonesia di negara Indonesia sendiri mengalami paradoks. Onishi menyoroti kenyataan bahwa anak-anak kecil berusia 5 tahun  golongan kaya (atau menengah ke atas) di Indonesia lebih condong untuk belajar secara fasih bahasa Inggris. Dan yang menjadi paradoks, mereka tidak mengenal bahasa Indonesia dengan baik. Norimitsu menyebut bahwa bahasa, di Indonesia, agaknya telah dianggap sebagai sebuah status kelas.
Dilihat dari perspektif bahasa, musik pun bisa jadi telah menjadi metaphor untuk segregasi sosial. Misalnya, musik-musik dengan “bahasa Pantura” sering kali diasosiasikan dengan  kelas menengah ke bawah. Musik berbahasa Indonesia dianggap sebagai musik yang gampang diterima masyarakat dan dianggap lebih popular, sedangkan bahasa Inggris dianggap terlalu elitis, dan segmented sehingga sulit untuk diterima oleh kalangan luas masyarakat kita.
Tak bisa dipungkiri, penggunaan bahasa Indonesia menjadi syarat utama demi penerimaan luas. Adakah tempat untuk Sajama Cut mengingat bahwa lirik berbahasa Inggris di negara ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang (atau kelas) tertentu?
Saya tidak bermaksud memaksa kita untuk memilih diantara dualisme: lirik bahasa Indonesia atau bahasa Inggris kah yang lebih baik? Yang jelas, seni memang memiliki medan sosialnya tersendiri. Kita juga bukan sedang memperdebatkan konsep bahasa sementara kita sendiri bisa menikmati musik-musik instrumental yang berbahasa melalui musik itu sendiri, misalkan musik-musik instrumental jazz atau post-rock yang mengawang-awang itu. Bagi Sajama Cut, emosi yang dihasilkan dari bunyi hasil kombinasi berbagai kata tertentu lebih penting daripada arti harfiah kata-kata tersebut.
Setelah mengatakan itu semua, Sajama Cut sendiri bisa disebut sebagai sebuah band Indonesia yang menulis lirik berbahasa Inggris dengan baik. Tidak terlalu mengejutkan karena Marcel Thee adalah seorang jurnalis harian berbahasa Inggris, Jakarta Globe. Delapan lagu yang dibawakan oleh Sajama Cut menggunakan bahasa Inggris yang bisa beresonansi dengan pendengar di Indonesia. Disamping itu, sebagian besar tidak bercerita tentang tema-tema yang berat.

No comments: